Minggu, 06 Maret 2016

Komunikasi dalam Kehidupan Manusia

          

          Manusia secara fitrahnya sebagai makhluk sosial senantiasa ingin berhubungan dengan manusia lainnya, ingin mengetahui lingkungan sekitar, bahkan ingin mengetahui apa yang terjadi dalam dirinya. Rasa ingin tahu ini memaksa manusia untuk berkomunikasi. Menurut Harold D. Lasswell, seorang peletak dasar ilmu komunikasi menyebutkan ada tiga fungsi dasar mengapa manusia perlu berkomunikasi, yaitu hasrat manusia untuk mengontrol lingkungannya, upaya manusia untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan, dan upaya manusia untuk melakukan transformasi warisan sosialisasinya. Ketiga fungsi ini yang menjadi patokan dasar bagi setiap individu dalam berhubungan dengan sesama anggota masyarakat. Sehingga saat ini keberhasilan dan kegagalan seseorang dalam mencapai sesuatu yang diinginkan termasuk karir, banyak ditentukan oleh kemampuan berkomunikasi.

Manusia adalah makhluk yang berkomunikasi. Melewati proses komunikasilah yang menjadikan manusia sebagai manusia. Komunikasi menjadikan dasar pemaknaan dalam hubungan manusia. Melalui komunikasi pula manusia memanusiakan manusia lainnya, oleh karena itu pada intinya komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik (DeVito, 1997:23).
Komunikasi sendiri adalah suatu proses dalam mana seseorang atau beberapa orang, kelompok, organisasi, dan masyarakat menciptakan, dan menggunakan informasi agar terhubung dengan lingkungan dan oranglain. Definisi lain dari komunikasi yaitu suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari satu pihak kepada pihak lain. Komunikasi atau communication berasal dari bahasa latin communs yang berarti ‘sama’. Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication depends on our ability to understand one another). Kita berkomunikasi pada dasarnya adalah untuk membangun dan memelihara hubungan dengan orang lain. Dalam arti, komunikasi merupakan instrumen dari interaksi sosial manusia yang berguna untuk mengetahui dan memprediksi sikap orang lain, untuk mengetahui keberadaan diri sendiri, untuk memperoleh pendidikan, untuk kebahagiaan, untuk menghindari kesulitan, dan juga untuk mencapai apa dicita-citakan. Dalam manfaat dan dampak yang ditimbulkan komunikasi memiliki fungsi-fungsi yang sangat berperan dalam kehidupan masyarakat. Secara umum, fungsi komunikasi adalah sebagai berikut:
  • Sebagai Kendali : Fungsi komunikasi sebagai kendali memiliki arti bahwa komunikasi bertindak untuk mengendalikan perilaku orang lain atau anggota dalam beberapa cara yang harus dipatuhi. 
  • Sebagai Motivasi : Komunikasi memberikan perkembangan dalam memotivasi dengan memberikan penjelasan dalam hal-hal dalam kehidupan kita. 
  • Sebagai Pengungkapan Emosional : Komunikasi memiliki peranan dalam mengungkapkan perasaan-perasaan kepada orang lain, baik itu senang, gembira, kecewa, tidak suka. dan lain-lainnya. 
  • Sebagai Informasi : Komunikasi memberikan informasi yang diperlukan dari setiap individu dan kelompok dalam mengambil keputusan dengan meneruskan data guna mengenai dan menilai pemilihan alternatif.
Objek materiil dalam ilmu komunikasi ialah perilaku manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Sedangkan objek formalnya ialah situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan. Divisi komunikasi antarpribadi merupakan salah satu divisi penting bagi kehidupan semua orang. Di satu sisi, semua jenis komunikasi berada di sebuah kontinum antarpribadi. Kemampuan dan perspektif yang akan dibahas dalam buku ini akan membantu kita lebih baik dalam melakukan perubahan dalam diri kemudian dalam melakukan hubungan dengan manusia lainnya.
Komunikasi terjadi melalui sebuah proses. Proses komunikasi itu sendiri adalah langkah-langkah di antara seorang sumber dan penerimanya yang menghasilkan transfer dan pemahaman makna. Pesan tersebut disampaikan dari seorang pengirim kepada seorang penerima. Ia disandikan dengan cara diubah menjadi suatu bentuk simbolis dan dialihkan melalui perantara (saluran) kepada penerima, yang lalu menerjemahkan ulang (membaca sandi) pesan yang diberikan pengirim. Dari proses tersebut dapat diketahui unsur-unsur komunikasi, yaitu:
a.       Komunikator   : Orang yang menyampaikan pesan/informasi
b.      Pesan               : Informasi,fakta,opini,maupun keyakinan
c.       Media              : Wadah yang digunakan untuk menyampaikan pesan
d.      Komunikan     : Orang yang diberikan informasi atau pesan oleh komunikator
e.       Feedback         : tanggapan dari komunikan atas informasi atau pesan yang diberikan
                        oleh komunikator
 Dalam berkomunikasi orang lain mempunyai pengaruh yang sangat besar pada sikap kita,perilaku kita dan bahkan persepsi kita. Orang lain yang memengaruhi kita itu berada di dalam kelompok dimana kita menjadi anggotanya,besar atau kecil, formal atau informal. Kelompok orang ini bisa mempunyai dampak yang besar pada cara kita menerima pesan Hal itu diungkapkan oleh Cooper dan Jahoda dalam pernyataannya yaitu bahwa keanggotaan kelompok dapat menciptakan sikap prasangka yang sulit diubah. Kelompok memengaruhi perilaku komunikasi orang dalam cara-cara lain.
Sifat manusia untuk menyampaikan keinginan dan mengetahui hasrat orang lain, merupakan awal keterampilan manusia berkomunikasi secara otomatis melalui lambang isyarat, kemudian disusul kemampuan untuk memberi arti setiap lambang-lambang itu dalam bahasa verbal. Komunikasi telah memperpendek jarak, menghemat biaya, menembus ruang dan waktu. Selain itu komunikasi berusaha menjembatani antara pikiran, perasaan dan kebutuhan seseorang dengan dunia luarnya serta membuat cakrawala seseorang menjadi luas. Syarat utama terjadinya sebuah komunikasi adalah adanya interaksi antara para komunikator (penerima dan pemberi pesan). Selain menggunakan bahasa, gerak, isyarat, dan tanda, komunikasi juga dapat dilakukan dengan media lainnya. Era globalisasi saat ini, media komunikasi memberi kontribusi signifikan terhadap perubahan dunia. Komunikasi di abad kontemporer ini dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, tanpa hambatan ruang dan waktu. Fenomena komunikasi inilah yang menjadi bagian dari studi ilmu komunikasi. Objek materiil dalam ilmu komunikasi ialah perilaku manusia, yang dapat merangkum perilaku individu, kelompok dan masyarakat. Sedangkan objek formalnya ialah situasi komunikasi yang mengarah pada perubahan sosial termasuk perubahan pikiran, perasaan, sikap dan perilaku individu, kelompok, masyarakat dan pengaturan kelembagaan.
Menurut Berger & Chaffe, ilmu komunikasi adalah ilmu yang memahami mengenai produksi pemrosesan dan efek dari simbol serta sistem sinyal dengan mengembangkan pengujian teori-teori menurut hukum generalisasi, untuk menjelaskan fenomena yang berhubungan dengan produksi, pemrosesan dan efeknya. Ilmu komunikasi merupakan hasil dari suatu proses perkembangan yang panjang. Lahirnya ilmu komunikasi dapat diterima baik di Eropa maupun di Amerika Serikat bahkan di seluruh dunia, adalah merupakan hasil perkembangan dari publistik dan ilmu komunikasi massa. Hal ini dimulai dari adanya pertemuan antara tradisi Eropa yang mengembangkan ilmu komunikasi massa. Hal ini antara lain diupayakan oleh Stappers dari negeri Belanda melalui karya Garbner dari Amerika Serikat. Dalam disertasinya di tahun 1966, Stappers sampai pada kesimpulannya bahwa komunikasi massa adalah objek dari publisistikwissenschaft.
Ilmu komunikasi dalam proses pertumbuhannya merupakan studi retorika dan jurnalistik yang banyak berkaitan dengan pembentukan pendapat umum (opini publik). Namun seiring kemajuan dan perkembangan zaman, ilmu komunikasi yang pada awalnya hanya dipelajari di lembaga-lembaga pendidikan ilmu sosial politik. Saat ini tumbuh hampir di seluruh disiplin ilmu. atau dengan kata lain komunikasi sebagai ilmu yang multidispliner. Sebagai ilmu yang dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, komunikasi telah lama menarik perhatian para ilmuan (pakar) yang ahli di bidangnya namun di luar bidang komunikasi. Para ilmuwan tersebut adalah : John dewey (psikologi dan filsafat); Charles Horton Cooley (sosiologi); Robert E. Park (filsafat dan sosiologi); George Herbert Mead (filsafat dan psikologi); Kurt Lewin (psikologi); Nobert Weiner (matematika); Harold D. Lasswell (ilmu politik); Carl Hovland (psikologi eksperimen); Paul F. Lazarsfeld (Matematika dan Sosiologi); Claude E. Shannon (Elektronika); Wilbur Schramm (Kesusastraan); Everett M. Rogers (Sosiologi Pedesaan).

 Sejalan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan perkembangan masyarakat yang makin kompleks dan global (postmodern), sehingga kebutuhan yang multisektoral ini mendorong lahirnya spesialisasi baru dalam studi ilmu komunikasi, misalnya komunikasi antar budaya, komunikasi organisasi, komunikasi pembangunan, komunikasi pemasaran, komunikasi kesehatan, komunikasi politik, teknologi komunikasi, komunikasi pendidikan, komunikasi internasional dan sebagainya. Kehadiran spesialisasi baru ini dapat memberi sumbangsih terhadap pertumbuhan metodologi dan teori dalam memperkokoh eksistensi ilmu komunikasi sebagai kajian ilmiah yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya.
Di Eropa, khususnya di Jerman, ilmu komunikasi berkembang dari publisistikwissenschaft sedangkan di Amerika Serikat berkembang dari ilmu komunikasi massa. Publisistik di Jerman, sebenarnya berkembang dari ilmu pers atau ilmu persuratkabaran. Asalnya dapat ditelusuri sampai abad ke 19 ketika surat kabar sebagaiobyek studi ilmiah mulai menarik perhatian para pakar di masa itu. Suratkabar sebagai salahsatu hasil dari pertumbuhan teknologi dan ndustri ternyata membawa berbagai implikasi sosial yang sangat menarik bagi kajian ilmu kemasyarakatan dan kemanusiaan. Adalah mengesankan karena kesadaran dan perhatian seperti ini baru lahir dan berkembang setelah dua ratus tujuh puluh tiga tahun kemudian dari terbitnya Relation (1609) sebagai surat kabar tercetak pertama di dunia ini.
Pada awalnya ahli ekonomi Karl Bucher (1847-1930) yang tertarik menulis dan mengajarkan sejarah pers, organisasi pers dan statistik pers pada tahun 1884. Bahkan pada tahun itu studi pers muncul dengan nama zaitungskunde di Universitas Bazel (Swiss), dan delapan tahun kemudian muncul juga di Universitas Leipzig di Jerman. Kehadiran pengetahuan persuratkabaran ini di Universitas tersebut, semakin banyak menarik perhatian para ilmuwan. Pakar sosiologi misalnya Max Weber telah mengusulkan dalam kongres Sosiologi (1910) agar sosiologi pers dimasukkan sebagai proyek pengkajian sosiologi disamping sosiologi organisasi. Weber pun telah meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pengkajian pers sebagai studi akademik. Sepuluh tahun kemudian pakar sosiologi yang lain, Ferdinand Tonnis (1885-1936) mengkaji sifat pendapat umum dalam masyarakat massa. Dalam Hubungan antara pers dengan pendapat umum itulah kemudian yang menaikkan gengsi suratkabar menjadi ilmu dengan lahirnya zaitungswissenschaft (Ilmu Suratkabar) dalam tahun 1925. Dengan demikian persuratkabaran tidak lagi dipandang sebagai keterampilan belaka, melainkan telah tumbuh sebagai suatu disiplin ilmu, sebagaimana disiplin yang lain.
Ilmu Komunikasi Massa
            Ilmu Komunikasi Massa (Mass Communication Science) berkembang di Amerika Serikat melalui Jurnalistik. Jurnalistik sebagai suatu keterampilan mengenai suratkabar sudah mulai dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1700. Namun sebagai pengetahuan yang diajarkan di universitas,barulah mulai dirintis oleh Robert Leo di Washington College,pada tahun 1870. Hal ini berarti, bahwa Amerika Serikat terlambat 26 tahun dari Eropa. Sebelum Jurnalistik dipelajari di Universitas, maka selama 170 tahun (1700-1870), kegiatan ini dilakukan secara magang, sebagaimana misalnya yang dilakukan oleh Benjamin Franklin, yang sebelum meningkatkan keahliannya di House of Coslon di London, telah melakukan magang pada percetakan saudaranya di Boston. Hal seperti ini banyak dilakukan oleh jurnalis Amerika pada masa itu.
            Sesungguhnya ilmu komunikasi massa ini hampir sama dengan publstik di Eropa. Perbedaannya hanya karena studi mengenai retorika, yang dicakup dalam publisistik, berkembang sendiri di Amerika sebagai suatu disiplin tersendiri dengan nama Speech Communication di beberapa universitas. Dengan demikian ke dua bidang itu masing-masing dikembangkan pada departemen tersendiri, yaitu Departemen Speech Communication dan Departemen Mass Communication. Dalam perkembangan selanjutnya,kedua bidang kajian itu akhirnya menyatu menjadi Ilmu Komunikasi (Communication Science).
            Perkembangan ke arah lahirnya ilmu komunikasi itu dimulai tahun 1950-an para pakar Ilmu Sosial, seperti Sosiologi dan ilmu politik, dan ilmu komunikasi massa mengembangkan studi mengenai pembangunan terutama di negara-negara yang baru merdeka setelah perang dunia kedua. Tokoh utama yang telah membawa ilmu komunikasi massa menjadi ilmu komunikasi adalah Wilbur Schramm, sarjana Bahasa Inggris yang tertarik kepada kajian komunikasi, karena memimpin sebuah University Press Schramm yang kemudian memimpin Departemen komunikasi massa di Universitas Iowa, dan memimpin penelitian komunikasi di Stanford dan East West Center.
            Berdasarkan latar belakang sejarah mengenai ilmu komunikasi,jelas bahwa untuk sampai kepada nama ilmu komunikasi sebagaimana dipakai di seluruh dunia dewasa ini,ternyata diperlukan waktu beberapa daswarsa. Perubahan nama pada ilmu komunikasi ini terjadi karena perubahan atau lebih tepatnya perluasan obyek dan bidang studi ilmu ini. Obyek studi ilmu komunikasi dengan sendirinya bukan hanya surat kabar,bukan pula hanya media massa,atau pernyataan umum (publistik) melainkan komunikasi atau pernyataan antar manusia. Dengan demikian ilmu komunikasi mencakup semua pernyataan antar manusia baik melalui media massa dan retorika maupun yang dilakukan secara langsung. Berdasarkan obyek studi tersebut, maka pada awal perkembangannya dapat dirumuskan bahwa ilmu komunikasi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari secara sistematis segala segi pernyataan antar manusia.
Sebelum berdiri sendiri sebagai suatu disiplin dalam kelompok ilmu sosial, cikal ilmu ini dipelajari sebagai bagian dari sosiologi di Jerman dan tercakup dalam departemen bahasa Inggris di Amerika. Banyak disiplin telah terlibat dalam studi komunikasi baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Hal ini mernurut Fischer bermakna bahwa komunikasi memang mencakup semuanya,dan bersifat sangat ekletif (menggabungkan berbagai bidang). Sifat ekletif dari Ilmu Komunikasi, dilukiskan oleh Schramm sebagai “jalan simpang paling ramai dengan segala disiplin yang melintasinya”. Komunikasi telah mendapat banyak sumbangan konsep-konsep dari berbagai disiplin, yang pada umunya tanpa diiringi pemeliharaan secara cermat ketepatan makna asli dari konsep-konsep tersebut. Konsep-konsep dari disiplin lain itu diterapkan secara langsung pada studi komunikasi, yang kemudian oleh para pakar dimodifikasi secara berlebihan, hingga meninggalkan dasar filosofis aslinya. Sumbangan ilmu fisika, sosiologi, psikologi, dan bahasa misalnya, sudah meninggalkan filsafat atau teori aslinya dan kemudian bersenyawa menjadi suatu teori baru yang bernama ilmu komunikasi. Keaslian teori atau konsep yang dipinjam memang tidak dipertahankan lagi, karaena teori itu telah diolah atau diramu sedemikian rupa dengan memberikan landasan filsafat baru (komunikasi).
Ekletisme komunikasi sebagai suatu bidang studi nampak pada konsep-konsep komunikasi yang berkembang selama ini, yang berhasil dirangkum oleh Fisher (1984) ke dalam 4 kelompok yang disebutnya perspektif. Keempat perspektif itu ialah:
1.      Perspektif mekanistis
2.      Perspektif psikologis
3.      Perspektif interaksional
4.      Perspektif pragmatis
Lahirnya perspektif komunikasi sebagai sumbangan berbagai disiplin,tidaklah menghabiskan hubungan ilmu komunikasi dengan ilmu-ilmu lainnya. Ilmu komunikasi yang telah tumbuh sebagai disiplin sendiri tentu masih berhak ‘kawin’ dengan ilmu-ilmu lainnya, yang kemudian melahirkan berbagai sub disiplin seperti komunikasi politik, sosiologi komunikasi, psikologi komunikasi, komunikasi organisasi, komunikasi lintas budaya, budaya komunikasi, komunikasi pertanian, dan lainnya.  Salahsatu dari “perkawinan” ilmu komunikasi yaitu komunikasi politik. Komunikasi Politik adalah komunikasi yang melibatkan pesan-pesanpolitik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan, pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Komunikasi politik adalah fungsi penting dalam sistem politik. Pada setiap proses politik, komunikasi politik menempati posisi yang strategis. Bahkan komunikasi politik dinyatakan sebagai “urat nadi” proses politik. Aneka struktur politik seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, LSM, kelompok kepentingan, dan warga negara biasa memperoleh informasi politik melalui komunikasi politik ini. Komunikasi politik banyak menggunakan konsep dari ilmu komunikasi, karena ilmu komunikasi berkembang terlebih dahulu daripada komunikasi politik. Konsep-konsep seperti komunikator,pesan, media, komunikan, dan umpan balik juga digunakan dalam komunikasi politik. Selain itu ada juga sosiologi komunikasi. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi adalah kekhususan sosiologi dalam mempelajari interaksi sosial, yaitu suatu hubungan atau komunikasi yang menimbulkan proses saling pengaruh-memengaruhi antara para individu, individu dengan kelompok maupun antarkelompok. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi komunikasi juga ada kaitannya dengan public speaking, yaitu bagaimana seseorang berbicara kepada publik. Oleh karena itu Komunikasi atau ilmu komunikasi memilki peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu.
Meskipun studi komunikasi baru dapat diterima sebagai suatu disiplin ilmu pada pertengahan abad ke-20 ini, namun sejak kehadiran dan perjumpaan Adam dan Hawa di dunia, komunikasi manusia itu sesungguhnya telah hadir. Kehadirannya malah tidak bisa dielakkan, karena perjumpaan itu sendiri memerlukan komunikasi agar bisa berlanjut menjadi persahabatan,pertemanan, persekutuan, atau perkawinan. Justri itu sebagian orang menyebut komunikasi sebagai “perekat” hidup bersama. Hal tersebut dapat dipahami karena dari istilah komunikasi itu sendiri terkandung makna bersama-saama (Common, commoness). Selain sebagai perekat hidup bersama, komunikasi juga sering dipandang seolah-olah memiliki kekuatan”gaib”. Banyak masalah yang timbul dalam kehidupan sosial, selalu dikaitkan dengan komunikasi. Namun menurut Fisher tidak ada persoalan sosial dari waktu ke waktu yang tidak melibatkan komunikasi. Justru itu dari waktu ke waktu manusia dihadapkan dengan masalah sosial yang penyelesaiannya menyangkut komunikasi yang “lebih banyak” ataupun yang “lebih baik”. Setidak-tidaknya semua kesalahpahaman yang kemudian menimbulkan konflik antara manusia yang dinyatakan sebagai “Kesalahan komunikasi”
Komunikasi memang menyentuh semua aspek kehidupan bermasyarakat, atau sebaliknya semua aspek kehidupan masyarakat menyentuh komunikasi. Justru itu orang melukiskan komunikasi sebagai ubiquitous atau serba hadir. Artinya komunikasi berada dimanapun dan kapan pun juga. Memang komunikasi merupakan sesuatu yang memang serba ada. Setiap orang berkomunikasi. Fenomena komunikasi terdapat dimana saja. Sifat komunikasi yang serba hadir itu, selain memberikan keuntungan juga sekaligus telah menimbulkan banyak kesulitan karena fenomena komunikasi itu menjadi luas, ganda dan multi makna. Hal ini terutama dijumpai dalam pergaulan sehari-hari maupun dalam cara merumuskan definisi komunikasi.
Komunikasi mempunyai berbagai jenis. Semua jenis komunikasi berada di sebuah kontinum antarpribadi. Seperti DeVito (1997) ungkapkan bahwa melalui komunikasi antarpribadi, anda berinteraksi dengan orang lain, mengenal mereka dan diri anda sendiri, dan mengungkapkan diri sendiri kepada orang lain. Apakah dengan kenalan baru, kawan lama, kekasih, atau anggota keluarga, melalui komunikasi antarpribadi kita membina, memelihara, kadang-kadang merusak (dan adakalanya memperbaiki) hubungan pribadi kita.
Dalam suatu hubungan antarpribadi, komunikasi menjadi suatu sumber yang penting untuk mengidentifikasi pribadi dan dalam mengekspresikan siapa diri kita, dan itu adalah cara utama kita membangun, memperbaiki, mempertahankan, dan mengubah hubungan baik dengan orang lain. Kesehatan dan daya tahan dalam hubungan antarpribadi tergantung kepada kemampuan kita untuk berkomunikasi secara efektif. Hubungan akan menjadi bermakna apabila kita tahu bagaimana mengekspresikan perasaan, kebutuhan, dan ide-ide kita dengan cara yang orang lain dapat mengerti. Begitupun komunikasi antarpribadi dengan secara verbal dan non verbal dapat memberitahukan apakah kita orang yang termasuk dominan atau menghargai, ramah atau menutup diri, peduli atau tidak peduli, berekspresi secara emosi atau bersikap hati-hati, mementingkan diri sendiri atau tertarik pada orang lain, tegas atau pasif, menerima atau menghakimi, dan lain sebagainya.
Dalam komunikasi ada yang dinamakan komunikasi verbal dan juga komunikasi non verbal. Komunikasi verbal (verbal communication) adalah bentuk komunikasi yang disampaikan komunikator kepada komunikan dengan cara tertulis atau lisan. Komunikasi verbal menempati porsi besar. Karena kenyataannya, ide-ide, pemikiran atau keputusan, lebih mudah disampaikan secara verbal ketimbang non verbal. Dengan harapan, komunikan (baik pendengar maun pembaca ) bisa lebih mudah memahami pesan-pesan yang disampaikan. Contoh komunikasi verbal melalui lisan dapat dilakukan dengan menggunakan media, contoh seseorang yang bercakap-cakap melalui telepon. Sedangkan komunikasi verbal melalui tulisan dilakukan dengan secara tidak langsung antara komunikator dengan komunikan. Proses penyampaian informasi dilakukan dengan menggunakan berupa media surat, lukisan, gambar, grafik dan lain-lain.
Sedangkan Komunikasi non verbal (non verbal communicarion) menempati porsi penting. Banyak komunikasi verbal tidak efektif hanya karena komunikatornya tidak menggunakan komunikasi non verbal dengan baik dalam waktu bersamaan. Melalui komunikasi non verbal, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai suatu kesimpulan tentang berbagai macam persaan orang, baik rasa senang, benci, cinta, kangen dan berbagai macam perasaan lainnya. Kaitannya dengan dunia bisnis, komunikasi non verbal bisa membantu komunikator untuk lebih memperkuat pesan yang disampaikan sekaligus memahami reaksi komunikan saat menerima pesan. Bentuk komunikasi non verbal sendiri di antaranya adalah, bahasa isyarat, ekspresi wajah, sandi, symbol-simbol, pakaian sergam, warna dan intonasi suara.
Dapat diketahui bahwa komunikasi bukan hanya multi makna dan multi definisi, tetapi cara membaginya pun ternyata bermacam-macam. Untuk memahami klasifikasi dari komunikasi,maka kita dapat melacak pada awal pertumbuhannya sebagai ilmu. Sejak mulai dipelajari di tingkat universitas, komunikasi sudah terbagi dua terutama di Amerika Serikat. Pertama komunikasi media massa, dan kedua komunikasi langsung (tatap muka). Komunikasi media massa dipelajari dibawah nama ilmu komunikasi massa,ssedangkan komunikasi langsung (komunikasi tatap muka) dipelajari dibawah nama komunikasi bicara (speech communication) pada departemen yang berbeda. Dengan demikian pembagian secara klasik dari komunikasi manusia khususnya di Amerika Serikat, dilihat dari segi media massa, yaitu komunikasi media dan komunikasi non media (langsung).
Jika komunikasi dititikberatkan pada sifat pesan,maka komunikasi dapat dibagi pula ke dalam dua jenis yaitu komunikasi massa (isinya bersifat umum) dan komunikasi persona (isinya bersifat pribadi). Komunikasi massa dapat menggunakan media massa,sedangkan komunikasi persona boleh dilakukan dengan menggunakan alat seperti surat, telepon, dan telegram. Selain dari pembagian tersebut, terdapat juga cara membagi komunikasi berdasarkan pengirim dan penerima atau peserta komunikasi. Dengan demikian komunikasi yang berlangsung antara dua orang dinamakan komunikasi persona, yang berlangsung dalam kelompok disebut komunikasi kelomopok (ada kelompok kecil dan ada kelompok besar), dan yang berlangsung dengan massa dinamakan komunikasi massa. Komunikasi massa adalah proses di mana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak (publik). Organisasi - organisasi media ini akan menyebarluaskan pesan-pesan yang akan memengaruhi dan mencerminkan kebudayaan suatu masyarakat, lalu informasi ini akan mereka hadirkan serentak pada khalayak luas yang beragam. Hal ini membuat media menjadi bagian dari salah satu institusi yang kuat di masyarakat. Dalam komunikasi masa, media masa menjadi otoritas tunggal yang menyeleksi, memproduksi pesan, dan menyampaikannya pada khalayak. Selain dari tiga jenis komunikasi itu (persona, kelompok, dan massa), para sosiolog menambahkan satu lagi jenis komunikasi,yaitu komunikasi organisasi. Komunikasi organisasi adalah komunikasi yang berlangsung di dalam organisasi (formal).
Pembagian yang lain, didasarkan kepada tujuan dan jenis pesan. Dalam hal ini komunikasi dapat dibedakan dalam banyak jenis antara lain:
·         Komunikasi Politik ( Kampanye,agitasi,propaganda)
·         Komunikasi Perdagangan (Reklame, Advertensi,promosi)
·         Komunikasi Kesehatan (Penyuluhan keluarga berencana)
·         Komunikasi Agama (dakwah,tablig,khotbah)
·         Komunikasi Kesenian (Drama,puisi,prosa,wayang)
·         Komunikasi Pertanian (Penyuluhan panca usaha tani)
Selain itu terdapat juga satu jenis komunikasi yang dinamakan komunikasi pembaharuan dan komunikasi pembangunan, yaitu komunikas yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan berencana untuk mengubah pola berpikir dan tingkah laku masyarakat. Hal ini terutama yang menyangkut ide baru dan teknologi baru. Kini jelas bahwa komunikasi bukan hanya multi makna dan mempunyai beberapa definisi tetapi juga ternyata memiliki berbagai jenis. Dengan kata lain bukan hanya cara memahaminya dan mendefinisikannya berbagai ragam, tetapi juga cara membaginya pun juga bermacam-macam.

Paradigma Komunikasi
Citra komunikasi yang multi makna dan multi definisi sudah tentu memberikan wawasan (cara pandang) yang beragam dalam mengkonseptualisasi komunikasi sebagai suatu kajian ilmiah. Apalagi komunikasi sebagai suatu disiplin bersifat ekletif. Dalam perkembangannya sebagai suatu bidang kajian yang ekletif, pengaruh disiplin lain terhadap ilmu komunikasi, terutama ilmu fisika, psikologi, dan sosiologi memang sangat besar dan sangat terasa. Hal ini sekaligus telah melahirkan berbagai pendekatan dan wawasan yang saling berbeda baik dalam merumuskan definisi komunikasi maupun dalam penelitian atau pengkajian empiris. Perbedaan-perbedaan itu pada akhirnya menumbuhkan dua hal yang yang sangat penting sebagai realitas yaitu lahirnya fraksi-fraksi di kalangan ilmuwan komunikasi dan lahirnya berbagai paradigma atau perspektif dalam kajian komunikasi manusia.
Para pakar komunikasi merupakan kelompok yang mempunyai ikatan yang sangat “longgar”, dan malah didalamnya terdapat fraksi-fraksi dengan paradigma masing-masing. Itulah sebabnya Feyerabend (1975) menyebut komunikasi sebagai ilmu yang ditandai dengan paradigma yang multi muka. Multi paradigma seperti ini bukanlah hal yang khas dalam komunikasi karena hampir seluruh disiplin dari ilmu sosial berparadigma ganda. Robert Fredrichs (1970) merumuskan paradigma secara jelas sebagai suatu pandangan mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Dalam masa tertentu ilmu sosial didominasi oleh suatu paradigma. Kemudian terjadi pergantian dominasi paradigma, dari paradigma yang lama yang memudar kepada paradigma baru. Sosiologi misalnya dalam perkembangannya memiliki tiga paradihma yang berbeda yaitu paradigma fakta sosial,paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial.

Menurut Kuhn ilmu tidak berkembang secara kumulatif melainkan secara revolusi,maka ilmu komunikasi pun demikian. Ilmu komunikasi sejak awal hingga tahun 1970-an sangat didominasi oleh paradigma tertentu yang kemudian secara pasti digeser oleh paradigma yang lain. Menurut Thomas Kuhn (1970), paradigma cenderung menjadi semakin melekat seiring berjalannya waktu, hingga paradigma tersebut digantikan oleh cara pandang yang baru terhadap dunia yang dilihat masuk akal oleh peneliti. Kuhn menyebut perubahan paradigma ini sebagai revolusi ilmiah. Dalam tradisi ilmu komunikasi sendiri, belum ada suatu revolusi ilmiah yang hadir menjawab permasalahan zaman yang selalu terbarui oleh pembangunan dan perkembangan teknologi. Realitas-realitas komunikasi masih dilihat menggunakan kacamata atau paradigma yang sudah lapuk.
Menurut Dedy N. Hidayat paradigma dalam ilmu komunikasi mengikuti paradigma yang banyak dilakukan dalam ilmu sosial, paradigma-paradigma tersebut diantaranya:
1. Paradigma Klasik
Paradigma ini menempatkan ilmu-ilmu sosial seprti halnya ilmu-ilmu alam fisika. Menempatkan ilmu sosial sebagai metode yang terorganisir untuk mengkombinasikan deductive logic dengan pengamatan empiris. Bertujuan menemukan hubungan sebab akibat yang dapat digunakan memprediksi pola-pola umum dari gejala sosial tertentu.
2. Paradigma Konstruktivisme
Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action. Ilmu diperoleh melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap prilaku sosial dalam suasana keseharian yang alamiah, agar mampu memahami dan menafsirkan bagaimana para pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan atau mengelola dunia sosial mereka.
3. Paradigma Kritis
Paradigma ini mendefinisikan ilmu sebagai suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ilusi atau kesadaran palsu yang ditampakkan dipermukaan. Bertujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar seseorang atau masyarakat dapat memperbaiki dan merubah kondisi kehidupannya.
Ada juga pengelompokan paradigma ilmu komunikasi yang dilakukan oleh pakar lain, antara lain Guba dan Lincoln (1994) yang membagi ilmu-ilmu sosial menjadi empat paradigma, yaitu: Positivism, Postpositivism, Constrictivism, Critical. Paradigma, sebagai sebuah landasan dalam membangun teori, tidak dapat terlepas pada tiga pertanyaan filosofis, yakni: Ontologi, pertanyaan mengenai sifat dari realitas; Epistemologi, pertanyaan mengenai bagaimana kita mengetahui sesuatu, dan Aksiologi, pertanyaan tentang apa yang layak untuk diketahui.

Ontologi Ilmu Komunikasi
Ontologi adalah studi mengenai sesuatu yang ada atau tidak ada, atau dengan kata lain ontologi membicarakan/mempelajari realitas. Ketika menyinggung keberadaan sesuatu, makan kita juga akan membicarakan tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontologi sendiri berarti memahami hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi. Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologis, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
Epistemologi Ilmu Komunikasi
Epistemologi adalah tuntunan-tuntunan (berupa pertanyaan) yang mengantar kita untuk mendapatkan suatu pengetahuan. Dalam contoh yang umum, epistemologi meliputi metode penelitian apa yang digunakan dalam usaha mengetahui suatu realitas (suatu yang telah ditentukan ada). Epistemologi sangat erat kaitannya dengan ontologi sebagai suatu hubungan antara “ADA” dan bagai mana mengetahui/menjelaskan yang “ada” itu. Dalam usaha memperoleh pengetahuan, kita mengenal dua proses besar yang menyatu dalam tradisi penelitian ilmiah, yakni objektivis dan subjektivis. Epistemologi objektivis mempercayai bahwa sangat mungkin untuk menjelaskan dunia, peneliti melakukan usaha mengakumulasi potongan kecil informasi-informasi mengenai kebenaran, hal ini yang sering kita istilahkan dengan fakta. Pada panjangan objektivis, kebenaran dianggap sesuatu yang objektif. Sementara epistemologi kaum subjektivis menolak pandangan bahwa kebenaran ada di luar orang yang mencari kebenaran. Para subjektivis percaya bahwa kebenaran dunia sosial bersifat relatif dan “hanya dapat dipahami melalui sudut pandang individu-individu yang secara langsung terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan diteliti” (Burrell & Morgan, 1979)
Aksiologi Ilmu Komunikasi
Posisi tradisional pada aksiologi adalah bahwa ilmu pengetahuan harus bebas dari nilai. Dalam aksiologi ilmu pengetahuan, pertanyaan yang masih diperdebatkan adalah bukan mengenai apakah, nilai harus mempengaruhi teori dan penelitian, menailnkan bagaimana nilai harus mempengaruhi keduanya.


Referensi:
·         Arifin Anwar. 1998. Ilmu Komunikasi: sebuah pengantar ringkas. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta
·         Cangara, Hafied. 2009. Pengantar Ilmu Komunikasi “Edisi Revisi”. RajaGrafindo: Jakarta
·         Muslim, Mufti. 2012. Teori-teori Politik. Pustaka Setia: Bandung
·         Nia Kania Kurniawati. 2014. Komunikasi Antarpribadi. Graha Ilmu: Yogyakarta
·         Severin, Werner J & James W. Tankard,Jr. 2008. Teori Komunikasi. Kencana: Jakarta
·         West, Richard & Lynn H. Turner. 2009. Pengantar Teori Komunikasi

·         Zamroni, Mohammad. 2009. Filsafat Komunikasi. Graha Ilmu: Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar