Kamis, 10 Maret 2016

Mengingat ( Lagi ) Surat Perintah Sebelas Maret 1966

Transisi kekuasaan politik di Indonesia dari Orde Lama ke Orde Baru di pertengahan tahun 1960-an sampai sekarang masih menyisakan misteri dan pertanyaan di kalangan para ahli. Terlebih, Surat Perintah Sebelas Maret kemudian kita lebih mengenal istilah itu dengan akronim Supersemar yang dikeluarkan oleh Soekarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi/Bapak Bangsa/Presiden pada saat itu kepada Letnan Jenderal/Menteri/Panglima Angkatan Darat Soeharto. 

Setelah pecahnya peristiwa G-30 S/Gestapu/Gestok pada 30 September ( versi Pemerintah berdasar dokumen PKI ) atau 1 Oktober ( versi PKI ) suasana perpolitikan di ibukota semakin memanas. Soekarno yang berpegang teguh pada prinsip politik Nasakom ( Nasionalis, Agama, Komunis ) hanya mengecam tindakan yang katanya menurut salah satu versi didalangi oleh Partai Komunis Indonesia. Rakyat sudah terpancing dengan adanya isu bahwa dalang dibalik terbunuhnya ketujuh perwira tinggi Angkatan Darat itu adalah PKI. Apalagi ketika PKI mengusulkan dibentuknya Angkatan Kelima dalam pertahanan dan keamanan negara, setelah TNI AD, AU, AL, dan POLRI, mereka mengusulkan Angkatan Kelima yang terdiri dari kaum buruh dan petani yang dipersenjatai. Usulan ini ditolak karena dikhawatirkan akan timbul sebuah kudeta yng dilakukan kaum buruh dan petani itu. 


Setelah itu, dari bulan Oktober sampai Desember 1965, lebih dari 10.000 orang yang diduga aktivis dan pemimpin PKI ditangkap di Jakarta dan Jawa Barat. Selama Bulan Januari 1966 keadaan politik ibukota kian memanas. Hal ini ditandai dengan demonstrasi mahasiswa yang terjadi pada 10 Januari 1966. Mereka berdemonstrasi ke Sekretariat Negara menuntut perbaikan harga barang kebutuhan pokok. Agar kebijakan tersebut ditinjau kembali oleh pemerintah. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya Tritura. Tri Tuntutan Rakyat. Yakni 1). Bubarkan PKI beserta ormas-ormasnya, 2). Bersihkan kabinet dari unsur-unsur PKI, 3). Memperbaiki stabilitas perekonomian nasional. 

Para mahasiswa yang tergabung dalam KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia ( KAPPI ), berbagai organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam ( HMI ), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ( PMII ), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ), Persatuan Mahasiswa Kristen Republik Indonesia ( PMKRI ) dan wakil-wakil mahasiswa lainnya pada 15 Januari 1966 diundang oleh Presiden Soekarno untuk menghadiri rapat Kabinet Dwikora di Istana Bogor. Dalam sidang kabinet itu presiden menyatakan setuju dengan kritikan yang dilakukan oleh mahasiswa, tetapi beliau tidak setuju dengan cara-caranya. 

Menurut Sulastomo ( 2008 ), pasca meletusnya G-30 S terjadi dualisme kepemimpinan nasional. Dimana Soekarno dan Soeharto berperan sebagai aktor utama. Dualisme kepemimpinan ini maksudnya ialah perbedaan pendapat yang mendasar antara Soekarno dan Soeharto dalam penyelesaian peristiwa G 30-S. Soeharto dengan tegas mengatakan akan tetap melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Sedangakan Soekarno sendiri terlihat telah melenceng dari kedua hal tersebut dalam pemerintahannya dengan penerapan konsep Demokrasi Terpimpin. Hal ini seperti “senjata makan tuan bagi” Soekarno sendiri. 

Kita semua mengetahui bahwa sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang intinya kembalinya konstitusi negara kita pada Pancasila dan UUD 1945, pembubaran Dewan Konstituante, dan dicanangkannya Demokrasi Terpimpin dimana Soekarno menempatkan dirinya sebagai Pemimpin Besar Revolusi, PKI mendapatkan tempat yang spesial di pemerintahan. Dipa Nusantara Aidit yang pada waktu itu merupakan Ketua Umum PKI memiliki hubungan yang dekat dengan Soekarno. Kegagalan pemberontakan PKI Madiun 1948 memberikan pelajaran yang berharga bagi DN. Aidit. Pada tahun 1965 itu sebenarnya sudah ada upaya dari Aidit untuk membentuk Angkatan Kelima dalam organisasi pertahanan dan keamanan negara ini. Walau begitu, PKI yang merupakan the golden boy Soekarno, tidak diberikan izin untuk membentuk angkatan tersebut. Hal ini diperkuat dengan isu adanya Dewan Jenderal dalam tubuh TNI-AD yang anti-Soekarno. Dewan Jenderal ini dimotori oleh Ahmad Haris Nasution yang memang agak kontra dengan Soekarno. 

Posisi Letnan Jendral Soeharto pada waktu terjadinya G 30-S itu ialah sebagai salah satu perwira tinggi di dalam TNI-AD. Tetapi yang sampai sekarang masih menjadi misteri dan pertanyaan adalah jika Soeharto merupakan salah satu perwira tinggi TNI-AD mengapa ia juga tidak diculik oleh pasukan tanpa tanda pengenal yang melakukan pembunuhan pada ketujuh jenderal tersebut di Lubang Buaya ? Apakah teori yang kedua bahwa sebenarnya yang merencanakan dan mendalangi G-30 S itu adalah Soeharto dan antek asing dengan menggunakan PKI sebagai tunggangan dan menjadikan ketujuh jenderal sebagai objek korban dari PKI memang benar ? 

Selanjutnya yang harus kita pikirkan adalah apa memang benar surat perintah pada tanggal 11 Maret 1966 yang ditandatangani oleh Soekarno itu adalah memang benar merupakan keinginan dari Soekarno sendiri untuk memindah kuasakan jabatan tertinggi eksekutif yang sedang diembannya kepada Soeharto ? Surat perintah yang ditandatangani oleh Soekarno tersebut sebenarnya bukan merupakan hasil ketikan beliau. 

Surat tersebut dibuat oleh ketiga orang perwira tinggi TNI-AD yang sebelumnya telah meminta izin kepada Soeharto di Jakarta untuk menemui Soekarno yang sedang berada di Istana Bogor. Yakni Brigjen Amir Machmud, Mayjen Basuki Rachmat, dan Brigjen M. Yusuf. Ketua tim pembuatan surat tersebut diserahkan kepada Basuki Rachmat. Sedangkan untuk sekertaris pembuatan ditujukan kepada Brigjen Sabur, Komandan Pasukan Cakrabirawa ( sekarang Paspampres,-red ). Surat yang akhirnya selesai pada maghrib tanggal 11 Maret 1966 itu lalu diserahkan kepada Soekarno untuk dibaca. Soekarno menyetujui isi inti dari surat itu yakni 1). Mengambil segala tindakan untuk terjaminnya keamanan dan kestabilan revolusi, 2). Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Pemimpin Besar Revolusi, 3). Melaksanakan dengan pasti ajaran Pemimpin Besar Revolusi. Surat tersebut dikuasakan kepada Letnan Jenderal Soeharto. 

Kalau kita melirik dari isinya, SP 11 Maret ini tidak mengindikasikan pemindahan kekuasaan secara tertulis kepada Soeharto. Isinya menyiratkan untuk menjaga keamanan dan kestabilan nasional serta untuk melindungi keselamatan pribadi dan melaksanakan ajaran Soekarno. Memang secara politis dengan dikeluarkannya surat perintah tersebut, secara otoritas kekuasaan, Soekarno tidak bisa lagi berbuat apa-apa dalam pemerintahan. Karena segala otoritas telah ia mandatkan kepada pemegang SP 11 Maret ini yaitu Soeharto. Misteri dan kontroversi apa sebenarnya maksud dari Surat Perintah 11 Maret ini sampai sekarang masih menjadi diskursus yang menarik dan terus dibahas di kalangan para ahli. Semoga dengan kita mengingat dikeluarkannya surat perintah ini 50 tahun yang lalu, kita tidak menjadi generasi muda yang buta akan sejarah bangsanya. Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, tetapi juga sejarah bangsanya. Historia magistra vitae. Wallahu a’lam.

Ditulis oleh kawan saya, saudara Oky Nugraha Putra, mahasiswa semester IV Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar